Ssssstttt... jangan bilang siapa pilihanmu | ilustrasi AI-WAW
Ssssstttt... jangan bilang siapa pilihanmu | ilustrasi AI-WAW

TPS, Tempat Pemenang Sesungguhnya

Oleh: WA Wicaksono
Storyteller, Analis Iklan dan Pencitraan
Percayakah Anda akan adanya fenomena pendukung senyap?  Pendukung seperti apakah itu? Mereka adalah pendukung paslon capres-cawapres tertentu yang tak ingin pilihannya terekspose kepada publik secara terang-terangan, apa pun yang terjadi. Alasan yang melatarbelakangi sikap pemilih tipe ini tentunya sangat beragam. Boleh jadi disebabkan karena orang ini memang berkarakter introvert, sehingga merasa tak nyaman jika pilihannya terekspose secara terbuka.
Namun ada juga lho yang menjadi pemilih jenis ini karena cinta damai dan ketenangan. Tipe seperti ini tidak mau atau tidak ingin mengungkapkan pilihan politisnya karena malas berdebat atau merasa repot untuk menjelaskan alasan kenapa mereka mendukung paslon tertentu. Dengan bungkam dan menyembunyikan pilihannya maka mereka akan merasa lebih tenang, nyaman, damai dan santai saja untuk terus bersosialisasi dengan komunitasnya tanpa terganggu oleh perbedaan pandangan politik yang terkadang menjadi duri keleluasaan hubungan sosial. Dengan menyembunyikan pilihan politiknya maka mereka bebas bergaul dengan golongan manapun, menyelami alasan dan pemahaman masing-masing golongan dengan leluasa sehingga bisa jadi justru memperkaya bekal untuk memperkuat atau mengubah pilihan politik yang sebelumnya telah mereka yakini. Dus bukan tidak mungkin pemilih tipe ini memiliki kadar rasionalitas dan obyektivitas yang tinggi karena memiliki peluang terbuka untuk mempelajari semua golongan yang ada secara leluasa.
Selanjutnya ada juga yang menjadi pendukung senyap tersebut karena adanya unsur ketakutan atau insecuritas. Mereka menyimpan dukungan atau pilihan politisnya dalam-dalam karena ketakutan akan adanya ledekan, cemoohan,  hujatan, tekanan, intimidasi, atau karena adanya unsur-unsur yang dianggap mengancam lainnya.
Tentu saja ancaman tersebut sangat beragam, bisa dikarenakan adanya oknum di sekitarnya dengan pilihan berbeda yang dianggap superior, lingkungan yang sensitif atau tidak kondusif, birokrasi, kekuasaan atau pemerintahan yang tidak demokratis, atau tirani yang menghantui.
Karena unsur ketakutan itulah mereka memilih untuk senyap dan menyimpan pilihannya dalam hati sendiri. Bukan tidak mungkin ketika ditanyakan apa pilihan politiknya, mereka akan berbohong dan mengatakan hal yang berbeda semisal menyatakan bahwa pilihannya sama dengan pilihan mayoritas dari  lingkungan yang mendominaasi.
Mungkin tipe-tipe pemilih senyap seperti inilah yang berpeluang menjerumuskan kerja lembaga-lembaga survei yang mencoba memetakan kekuatan masing-masing kandidat yang berkontestasi melalui penyebaran polling. Jawaban yang diberikan pada polling pertanyaan yang diajukan bisa jadi sangat berbeda dengan pilihan sejati yang akan diberikan di bilik suara nanti. Alhasil meskipun secara teori akademis, etika ilmiah dan hukum-hukum saintifik penelitian dijalankan dengan ketat dan benar, hasil survai bisa berbeda sama sekali dengan hasil nyata penghitungan di TPS nanti. Bukan hanya meleset dalam batas margin eror yang bisa ditoleransi lagi, tetapi benar-benar bertolak belakang dari hasil survei yang telah dirilis sebelumnya.
Cuitan Islah bahrawi Official @islah_bahrawi mengenai hal ini, mungkin bisa dijadikan pertimbangan.
Islah menceritakan bagaimana dia bergerak dari pintu ke pintu selama 12 hari terakhir di 14 Kabupaten/kota Jatim-Jateng-DIY. Hasilnya cukup menakjubkan. “Ada pernyataan seorang petani di Magelang yang bagi saya sungguh mengejutkan. Dia bercerita, ketika ditanya oleh salah satu lembaga survei pada bulan Januari, dia menyatakan mendukung Paslon 02. Alasannya, jika menjawab dukungan untuk Paslon lain, dia khawatir perangkat desa tidak memasukkannya ke daftar penerima Bansos.”
“Ketika saya datangi hari Kamis 8/2/24 kemarin, Bansos sudah turun seminggu lalu dan secara terbuka dia mendukung 03,” tambahnya.
Islah juga mengaku menemukan kasus serupa di Probolinggo. Ketika disurvei pada akhir Januari lalu, seorang responden mengaku didampingi perangkat desa dan ketika itu dia mengaku pendukung 02.
“Namun sesuai pengakuannya ketika saya temui Senin 5/2/23, petani tebu ini aslinya mendukung 01,” ungkapnya. “Saya hanya mikir: jangan-jangan yang model begini terjadi di banyak tempat. Wallahua’lam,” tutupnya seraya menyatakan bahwa semua temuan tersebut terdokumentasi dengan baik namun tidak akan dishare dan dipublikasikan demi keamanan nara sumber.
Berbekal temuan di atas, saya jadi berpikir, muungkin tempat pemilihan suara yang akrab dikenal dengan akronim TPS, saat ini bisa kita jabarkan dalam kepanjangan yang berbeda. Mungkin tepat jika TPS kita diartikan sebagai Tempat Penentuan Sesungguhnya, Tempat Pemenang Sesungguhnya, atau Tempat Perubahan Sesungguhnya. Dimana asalkan kebebasan, kerahasiaan, keamanan, kenyamanan para pemilih bisa benar-benar bisa dihadirkan oleh sang penyelenggara Pemilu yang dipercaya negara, maka TPS-lah yang menjadi penentuan akhir dari hiruk pikuk prediksi dan proyeksi pemenang yang sebelumnya marak dipublikasikan oleh lembaga-lembaga riset di masa kampanye.
Tentu saja hal ini juga sangat ditentukan oleh profesionalitas dan netralitas penyelenggara Pemilu seperti KPU, Bawaslu, dan seluruh petugas KPPS dari pusat hingga daerah-daerah yang ada. Profesionalitas mereka diperlukan agar Pemilu bisa berlangsung jurdil dan legitimatis di mata rakyat. Tabik.