Foto: dok. dialeksis

Sidang Terakhir Sang Hakim

Cerpen Rhenoz Dharmaputra
Langit Jakarta malam itu kelabu, seperti hati Densyah, seorang hakim di PN Kalau Provinsi Indah Lestari yang selama ini dikenal sebagai simbol keadilan. Dia duduk di ruang kerjanya yang gelap, dengan map merah bertuliskan “Kasus Ramja Jingga” di mejanya. Map itu penuh bukti dan saksi yang cukup untuk menjerat Ramja Jingga seorang pengusaha licik yang menyuap pejabat demi mengamankan proyek-proyek raksasa alasan untuk sebuah proyek peduli sosial lingkungan
Namun, malam ini map itu bukan sekadar dokumen biasa. Map itu berubah menjadi cermin, memantulkan wajah sang hakim yang kehilangan prinsip.
“300 miliar,” bisik Ramja Jingga dua minggu lalu saat menyodorkan sebuah amplop cokelat tebal yang tak biasa tebalnya di ruang sidang yang kosong. “Tutup mata, dan kasus ini selesai.”
Awalnya, Sang Hakim Densyah Karyanugraha marah. Dia hampir melempar amplop itu ke wajah Ramja Jingga. Tapi pikiran itu berlalu begitu saja ketika dia mengingat ancaman tersirat yang mengikuti tawaran itu.
Ramja tahu segalanya—tentang utang judi adiknya, tentang istri Densyah yang diam-diam menderita kanker, dan tentang rekening-rekening kecil di luar negeri yang selama ini disembunyikannya. Tahunya Ramja maklum dia cari celah-celah informasi
“Aku bukan hakim biasa. Aku adalah Hakim yang kuat!” seru Densyah dalam hatinya, mencoba melawan godaan.
Namun, malam itu, dia menyerah. Dengan tangannya yang gemetar, Densyah membuka amplop cokelat itu dan memasukkannya ke dalam meja yang lebar itu.
Hari Sidang Itu adalah terakhir kasus Ramja Jingga berlangsung dingin. Semua mata tertuju pada Densyah sang hakim saat dia mengetuk palu dan memutuskan, “Terdakwa Ramja Jingga dinyatakan terbukti hukuman bersalah dengan vonis 2,5 tahun karena  kooperatif dan masih punya anak dan keluarga yang harus dibina.”
Ruangan sidang langsung riuh. Wartawan berlomba mengabadikan momen itu, sementara keluarga korban korupsi yang dirugikan hanya bisa menahan air mata.
Namun, di antara sorak-sorai kemenangan Junjun, seorang pria berdiri di belakang ruangan, mengenakan jaket kulit lusuh. Mata pria itu menusuk langsung ke arah Ramja Jingga, tu adalah Ruska, sahabat lama Ramja yang bekerja sebagai penyidik independen.
Setelah sidang, Ruska menunggu Ramja di lorong pengadilan. “Ramja,” katanya dengan suara serak, “berapa harganya?”
Ramja terdiam, merasa dadanya dihantam ribuan paku. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.”
“Kau tahu persis,” jawab Ruska, sambil menunjukkan rekaman percakapan Ramja dan
Junjun di ruang sidang kosong dua minggu lalu.
Klimaks Ramja tahu ini adalah akhir dari segalanya. Ia tak bisa melawan bukti itu. Tapi anehnya, dia merasa lega.
Malam itu, di depan rumahnya, dia menulis surat pengunduran diri dan surat pengakuan yang membeberkan semua kejahatannya. “Keadilan harus dimulai dari kehancuranku,” tulisnya.
Keesokan paginya, berita tentang sang hakim Densyah dikenal selama ini hakim adil yang menyerahkan diri memenuhi media. Kini malah sang hakim duduk di ruang tahanan, menanti sidang untuk kasusnya sendiri. Menggambarkan bahwa keadilan terkadang bisa dirusak oleh manusia, tetapi pertobatan dan keberanian untuk mengakui kesalahan adalah langkah pertama untuk memperbaiki sistem yang rusak.***