Aendra MEDITA/ist

Masjid dan Politik: Antara Sejarah dan Tantangan Zaman

 

CATATAN  Aendra MEDITA *)

MASJID, dalam sejarah Islam, bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat peradaban. Pada masa Nabi Muhammad SAW, masjid berfungsi sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, sosial, hingga strategi militer. Politik yang dijalankan di masjid saat itu bukanlah politik praktis seperti yang kita kenal hari ini, melainkan politik kemaslahatan umat—politik yang berorientasi pada keadilan, kesejahteraan, dan persatuan.

Namun, di era modern, muncul perdebatan: sejauh mana masjid boleh menjadi tempat pembahasan politik? Apakah masjid tetap bisa menjadi ruang diskusi kebangsaan, atau justru harus dijaga dari pengaruh politik praktis yang bisa memecah belah umat?

Masjid di Zaman Nabi Pusat Politik yang Berkeadilan

Sejarah mencatat bahwa Masjid Nabawi tidak hanya digunakan untuk shalat dan ibadah ritual, tetapi juga sebagai tempat Nabi bermusyawarah dengan para sahabat, menerima utusan dari berbagai kabilah, menyelesaikan sengketa, serta merumuskan kebijakan negara. Nabi menggunakan masjid sebagai tempat membangun peradaban dan menanamkan nilai-nilai keadilan sosial.

Namun, politik yang dijalankan di masjid pada masa itu adalah politik yang berbasis wahyu, jauh dari kepentingan pragmatis dan elektoral. Setiap keputusan Nabi berlandaskan prinsip keadilan dan kemaslahatan umat, bukan demi kepentingan kelompok tertentu.

Politik di Masjid Zaman Sekarang, Antara Edukasi dan Politisasi

Di era modern, masjid masih menjadi ruang penting dalam kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat. Namun, ada perbedaan mendasar antara politik zaman Nabi dan politik saat ini. Politik modern sering kali sarat dengan kepentingan kelompok, kampanye kekuasaan, dan mobilisasi massa. Inilah yang membuat politik di masjid menjadi isu sensitif.

Di satu sisi, membicarakan politik dalam konteks kebangsaan di masjid tetap relevan. Masjid bisa menjadi tempat mencerahkan umat tentang kepemimpinan yang adil, kebijakan publik, serta tanggung jawab sosial. Namun, jika masjid dijadikan alat untuk mendukung satu kelompok politik tertentu atau menyerang lawan politik, maka masjid kehilangan netralitasnya dan justru menjadi sumber perpecahan.

Bagaimana Seharusnya?

Agar masjid tetap menjadi ruang pemersatu, ada beberapa prinsip yang harus dijaga:

a. Masjid Bukan Alat Mobilisasi Politik Praktis

Masjid seharusnya menjadi tempat edukasi politik yang objektif, bukan arena kampanye atau propaganda kelompok tertentu. Pembicaraan politik di masjid harus bersifat konstruktif, mencerahkan, dan tidak memihak secara partisan.

b. Pisahkan Politik Kebangsaan dari Politik Elektoral

Masjid boleh menjadi tempat diskusi kebangsaan, misalnya membahas kepemimpinan yang ideal menurut Islam, kebijakan publik yang adil, atau isu-isu sosial yang relevan. Namun, masjid tidak boleh menjadi tempat untuk mempromosikan calon tertentu atau menciptakan polarisasi politik.

c. Peran Ulama dan Takmir Masjid Sebagai Penjaga Netralitas

Takmir masjid dan ulama memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga masjid tetap menjadi tempat ibadah dan pencerahan umat. Mereka harus memastikan bahwa diskusi yang terjadi di masjid tetap dalam koridor ilmu dan keadaban, bukan sekadar alat kepentingan politik sesaat.

d. Gunakan Ceramah untuk Membangun Kesadaran, Bukan Propaganda

Jika politik dibahas dalam ceramah masjid, maka harus dalam konteks keislaman yang luas—berbasis nilai-nilai moral, etika kepemimpinan, dan keadilan sosial. Ceramah harus mendorong kesadaran umat, bukan memprovokasi perpecahan.

Akhirnya….bahwa Masjid memiliki sejarah panjang sebagai pusat peradaban dan politik yang berkeadilan. Namun, politik di masjid pada masa Nabi berbeda dengan politik praktis saat ini. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjaga marwah masjid agar tetap menjadi tempat ibadah, ilmu, dan persatuan umat.

Masjid boleh menjadi tempat diskusi kebangsaan, tetapi harus dalam koridor edukasi dan kemaslahatan, bukan menjadi alat kampanye atau kepentingan kelompok tertentu. Ulama, takmir, dan jamaah memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan ini agar masjid tetap menjadi simbol persatuan, bukan perpecahan.

Pada akhirnya, politik yang dibicarakan di masjid haruslah politik yang mencerahkan, membangun, dan menyejahterakan umat—bukan sekadar alat perebutan kekuasaan. Maka jika perdebatan dua tokoh politik yang satu menteri dan yang satu pernah jadi menteri itu adalah perdebatan yang bisa jadi terjadi dan itulah wacana yang baik untuk kita lihat, jangan saling ngotot menang salah atau benar salah. tapi sejarah adalah kenyataan yang sudah terjadi. Sacara komunikasi politik dan kekuatan demokrasi jika memang benar mau ditegakan di bangsa ini  harusnya terbuka. Tabik…!!!

*) analis di pusat kajian komunikasi politik Indonesia (PKKPI)

Jagakarsa, 9 Maret 2025