Festival Bandung Menggugat: Merawat Napas Perlawanan, Menyatukan Suara-Suara Kritis
Di tengah derasnya gelombang ketimpangan sosial, perampasan ruang hidup, dan menyempitnya demokrasi, Festival Bandung Menggugat hadir sebagai ruang perlawanan kolektif yang berangkat dari kegelisahan dan keberanian. Diselenggarakan di Dago Elos—wilayah yang tengah berjuang melawan ancaman penggusuran—festival ini menjadi puncak dari rangkaian kegiatan kritis yang digagas BandungBergerak bersama komunitas dan mahasiswa sejak enam bulan terakhir.
Festival ini lahir dari kerja-kerja panjang: mulai dari diskusi kampus, pelatihan penulisan esai opini, penyelenggaraan sayembara, hingga peluncuran buku Mahasiswa Bersuara yang memuat 28 tulisan dari mahasiswa berbagai daerah. Buku ini telah dibawa keliling ke kampus dan warung kopi sepanjang Maret untuk dibedah dan didiskusikan. Kini, semangat itu bermuara di Dago Elos—menjadi peristiwa bersama yang melibatkan banyak pihak.
Tri Joko Her Riadi, Pemimpin Redaksi BandungBergerak, dalam pengantarnya menyatakan bahwa menggugat dan melawan hari ini bukanlah pilihan eksklusif, tapi napas keseharian. “Di tengah hidup berdemokrasi yang dibajak demi kepentingan para oligarki, di tengah hidup bermasyarakat yang dikekang pemenuhan hak-hak dasarnya, di tengah hidup akademik yang ditelikung oleh nafsu penguasa, menggugat dan melawan harus menjadi keseharian. Ia menjelma napas yang membuat kita mampu bertahan. Sehari, dan sehari lagi,” tulisnya.
Festival ini mengusung berbagai agenda: diskusi publik, orasi, pertunjukan seni, pasar rakyat, hingga pameran foto perjuangan warga. Diskusi digelar sepanjang hari, membahas tema seputar krisis demokrasi, perjuangan warga Dago Elos, dan ruang kampus sebagai arena perlawanan intelektual. Sejumlah pemantik dari kalangan akademisi, jurnalis, pengacara publik, dan aktivis turut serta berbagi gagasan.
Festival akan dimulai pukul 12.45 WIB dengan pembukaan, dilanjutkan diskusi bertema “Selagi Mahasiswa Berani Bersuara, Kampus Belum Akan Mampus” yang menghadirkan pemantik, yakni Cindy Veronika, Bivitri Susanti, dan Zen RS.
Diskusi tersebut menjelaskan dinamika sosial pergerakan mahasiswa di kampus yang mulai meredam oleh penyebab yang sistemik. Zen RS, salah satu pemantik menyatakan bahwa pergerakan mahasiswa layaknya sebuah keberanian dengan dua faktor untuk dibaca. “Pergerakan itu sama seperti keberanian. Keberanian itu bukan inharite atau turunan. Enggak ada orang yang bapaknya berani, otomatis anaknya berani juga. Enggak ada ceritanya bapaknya pengecut, otomatis anaknya pengecut. Menurut saya, gerakan sebagaimana keberanian, itu harus dibaca dengan dua faktor. Yang pertama, keberanian itu hasil latihan. Yang kedua, keberanian itu hasil atau buah dari ekonomi politik.” ungkapnya.
Sore harinya, festival diwarnai penampilan seni dari komunitas teater dan musik, serta tur pameran foto bertema Melawan sebagai Keseharian.
Pada malam hari, kegiatan berlanjut pada diskusi dengan tema “Menggugat Demokrasi Indonesia dalam Bayang-Bayang Rezim Baru” dan “Dago Elos Hari Ini”, menghadirkan para pegiat HAM, advokat, dan warga terdampak langsung. Festival ditutup dengan orasi dari Herry “Ucok” Sutresna dan musik dari Bendi Harmoni.
Di sisi lain, pameran foto bertajuk Melawan sebagai Keseharian menampilkan 23 karya visual yang merekam perlawanan warga dalam berbagai bentuk: dari demo jalanan, perjuangan mempertahankan lahan, hingga ekspresi keseharian yang menjadi bentuk perlawanan itu sendiri. Kurasi dilakukan oleh Arif “Danun” Hidayat dan Iqbal Kusumadirezza, dengan karya dari fotografer seperti Prima Mulia dan Virliya Putricantika.
Cindy, seorang mahasiswi serta penulis esai terpilih, berpendapat bahwa Festival Bandung Menggugat merupakan upaya perlawanan dari masyarakat Bandung. “Festival Bandung Menggugat memberi ruang perjumpaan bagi orang muda untuk saling bertukar cerita lintas latar belakang dan lintas gagasan,” Cindy juga menegaskan bahwa perlawanan tidak bisa dilakukan dengan berdiri sendirian, melainkan dengan memperkuat simpul-simpul pergerakan satu sama lain.
Festival ini tidak hanya menyatukan ekspresi, tetapi juga menghidupkan solidaritas. Panggung-panggung seni menampilkan teater, musik, dan orasi budaya sebagai medium menyampaikan keresahan. Pojok Bersuara dibuka bagi siapa saja yang ingin menulis keresahannya dan membagikan suara yang selama ini terpinggirkan.
Festival Bandung Menggugat menegaskan bahwa perlawanan tidak harus monumental. Ia bisa tumbuh dari hal-hal kecil, dari kerja-kerja kolektif yang konsisten, dari keberanian menyuarakan yang tak terdengar. Dan yang paling penting, dari kesadaran bahwa hidup layak adalah hak, bukan hadiah.***
(laporan & foto-foto Andisopiandi.- BDG)