P.A.L.S.U.

Oleh Agung Marsudi

KATA “palsu” akhir-akhir ini menjadi menarik, karena sering diperbincangkan, apalagi soal isu ijasah palsu. Sebelumnya kata “dungu”. KBBI daring menyebut turunan dari kata dasar “palsu” ini menjadi beberapa kata; memalsu, memalsukan, pemalsu, pemalsuan, kepalsuan.

Saya tertarik diksi “kepalsuan”, untuk mengekspresikan kondisi psikologis bangsa ini, yang tengah menghadapi banyak realitas bertopeng. Topeng kepalsuan, yang sejatinya menjadi akar masalah dari seluruh persoalan bangsa dan negara, yaitu UUD 1945 palsu.

Bagaimana sebuah negara 25 tahun dijalankan tanpa haluan. Berdiri di atas konstitusi baru, yang dirancang sedemikian. Sehingga pak Harto lengser, demokratisasi dan reformasi melenggang, dijalankan sesuai kehendak para pemesan. Ini namanya reformasi palsu.

Kedaulatan rakyat diperjualbelikan di pasar partai politik. Riuh, gaduh, hiruk pikuk, tempik sorak, berebut kursi-kursi kekuasaan, biaya tinggi, diselingi orasi, dan proyek-proyek sedu sedan atas nama rakyat, yang katanya butuh roti, sirkus dan “bansos”.

Para petinggi untuk apa melayani petani, lebih asik melayani oligarki. Hajat hidup orang banyak dikalkulasi “untung rugi”. Hak-hak rakyat dimonetisasi. Padahal negara didirikan untuk melindungi segenap bangsa.

Di meja-meja diskusi berkelas yang “dibiayai” Pancasila selalu disebut-sebut. Asik dengan perdebatan Pancasila 1 Juni atau Pancasila sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 asli. Tapi para elit, sadar justru asik berunding dengan maling, dengan para oligarki, urus itu, urus ini. Bagi-bagi.

Begini kok negara.
Negara kok begini.

Petinggi itu dalam tradisi Melayu jamak disebut penghulu, posisinya di hulu, di atas, maka ditinggikan seranting, dimajukan selangkah. Rakyatlah yang selalu menjaga hilir. Hilirisasi itu ranah rakyat.

Sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa, Pancasila itu lebih tinggi dari demokrasi. Bukan sebaliknya. Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan kalimat biasa, dua sila Pancasila, yang menjadi amanat mulia, tujuan kenapa bangsa Indonesia berdiri.

Demokrasi, adalah topeng kepalsuan. Wajah lain dari kapitalisme kekuasaan.

Tak eloklah sebagai bangsa, kita mengagungkan sesuatu yang tak layak diagungkan. Demokrasi yang diadopsi, mengkhianati jati diri. Siapa yang mau, jati diri kita pun disebut palsu.

Hati-hati dengan ijasah palsu, uang palsu, dan heroisme palsu.

Yogya, 14 April 2025