Kejujuran, Komunikasi Politik, dan Masa Depan Bangsa
CATATAN KOMUNIKASI POLITIK Aendra MEDITA*)
DI tengah kegaduhan politik yang makin tak tentu arah, (semoga tak berlangsung terus) bangsa ini seolah lupa bahwa kejujuran adalah fondasi utama dari peradaban. Kita terlalu sering melihat politik sebagai seni memenangkan kekuasaan, bukan seni merawat kebenaran.
Padahal, di sinilah letak krisisnya: bangsa tak akan pernah benar-benar maju jika dibangun di atas kebohongan dan tipu daya. Alias berdusta.
Lihatlah bangsa-bangsa yang kini menjadi acuan dunia. Jerman, misalnya, tumbuh dari tragedi sejarah menuju negara dengan tata kelola terbaik. Bukan karena retorika kosong, tapi karena keberanian menghadapi masa lalu dan membangun masa depan dengan jujur. Angela Merkel memimpin tanpa sensasi, tanpa gimik politik. Ia tidak sibuk tampil, tapi sibuk bekerja. Komunikasi politiknya bersih, berbasis data, dan bertumpu pada kepercayaan.
Selandia Baru juga menunjukkan hal serupa. Jacinda Ardern bukan hanya pemimpin perempuan hebat, tapi simbol dari komunikasi yang bernurani. Ia menyampaikan empati tanpa harus bersandiwara. Ketika tragedi Christchurch terjadi, ia tidak menyulut emosi atau memainkan narasi korban. Ia hadir sebagai manusia, bukan sebagai politisi. Dan publik pun merespons dengan kepercayaan yang langgeng.
Dua contoh ini menunjukkan bahwa komunikasi politik bukan sekadar soal menyampaikan pesan, tetapi tentang menghubungkan hati rakyat dengan kejujuran niat seorang pemimpin. Dalam politik yang sehat, kata-kata bukan alat tipu. Kata-kata adalah jalan untuk memulihkan kepercayaan dan memperkuat demokrasi.
Indonesia bisa, bahkan seharusnya, menjadi bangsa besar dengan modal sejarah dan nilai-nilai luhur seperti Pancasila. Tapi kejujuran sering digeser oleh kepiawaian membangun citra. Politik kehilangan makna, karena yang dijual bukan gagasan, melainkan gimmick. Komunikasi politik tak lagi mencerdaskan, tapi membius. Rakyat dibawa menonton drama tanpa arah. Lebih Absurd dari naskah-nbaskah drama dari Tokoh-tokoh Teater Absurd di seperti Samuel Beckett atau Jean Genet.
Para pendiri bangsa—Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dll—berpolitik dengan visi. Mereka berkomunikasi bukan untuk membentuk persepsi sesaat, tapi untuk membangun kesadaran kolektif. Mereka tahu bahwa satu kalimat bisa membakar semangat kemerdekaan, tapi juga bisa menghancurkan sebuah bangsa bila salah ucap dan tanpa nurani, bahkan prilaku bohong akan malapetaka.
Mohammad Hatta pernah berkata, “Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana saja.” Kata-kata ini sederhana, tapi menggugah. Ia menempatkan kejujuran sebagai nilai utama yang tidak hanya relevan dalam kehidupan pribadi, tetapi juga dalam ranah politik dan kepemimpinan. Jika kejujuran tidak lagi menjadi bagian dari komunikasi elite politik, maka bangsa akan kehilangan arah.
Senada dengan itu tokoh dunia, Winston Churchill ataau Sir Winston Leonard Spencer Churchill adalah seorang politikus, perwira militer, dan penulis Britania Raya, merupakan Perdana Menteri Britania Raya dari tahun 1940 hingga 1945, ketika ia memimpin Britania meraih kemenangan dalam Perang Dunia Kedua, dan menjabat lagi dari tahun 1951 hingga 1955 perna mengingatkan kita dengan kalimat yang sangat kesohor:
“The truth is incontrovertible. Malice may attack it, ignorance may deride it, but in the end, there it is.” Kebenaran bisa diserang dan diabaikan, tapi ia akan selalu muncul di permukaan. Karena itu, politik yang dibangun di atas kepalsuan hanya akan sementara hidup, lalu runtuh oleh bobot kebohongannya sendiri.
Kita tak butuh pemimpin yang hanya pintar berkata-kata. Kita butuh pemimpin yang jujur dalam isi ucapannya. Yang bicara bukan untuk menang debat, tapi untuk menyampaikan kebenaran yang pahit sekalipun. Yang mengerti bahwa rakyat tidak ingin ditenangkan dengan dusta, tapi dituntun dengan kejujuran hakiki.
Politik yang cerdas adalah politik yang bertanggung jawab. Komunikasi politik yang beradab adalah komunikasi politik yang bernurani. Jika kejujuran kembali menjadi roh politik Indonesia, maka bangsa ini akan menemukan kembali martabatnya.
Dan saat itulah, kita bisa berkata: kita tidak sekadar merdeka, tapi benar-benar bermartabat. Tabik..!!
*) Analis di Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) Pernah bekerja menjadi konsultan PR Multinasional Ternama di Indonesia.