JAKARTASATU.COM – Mantan wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra Hamzah mengaku kagum dengan sosok mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal TNI (Purn) Endriartono Sutarto.
Bagi Chandra, dalam kurun waktu 15tahun terakhir, Endriartono Sutarto selalu hadir dalam momentum penting yang dihadapi bangsa Indonesia. Berbagai persoalan genting juga berhasil diselesaikan dengan tuntas oleh lulusan Akabri tahun 1971. Mulai dari penanganan gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004, salah satu inisiator perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia, hingga persoalan perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atau yang dikenal dengan istilah ‘Cicak-Buaya’ pada tahun 2009 lalu.
Chandra berkisah, kala itu perseteruan antara KPK dengan Mabes Polri kian memuncak. Puncak dari perselisihan antar kedua lembaga penegak hukum tersebut adalah dijebloskannya dua pimpinan KPK (Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto) ke Rutan Brimob yang berada di Kelapa Dua pada tanggal 29 Oktober 2009.
“Dalam momentum seperti itu pak Tarto tidak tinggal diam, beliau terus bekerja membela kami,” kata Chandra saat dimintai tanggapan dalam sebuah acara Launching buku ‘ Perjalanan 35 Tahun Mengawal Jatidiri TNI dan Konstitusi’ bertempat di Hotel Bimasena, Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Jum’at malam (2/5).
Keberadaan Jenderal Tarto sebagai koordinator tim advokasi kala itu amatlah penting. Bersama dengan awak media, akademisi dan masyarakat luas Jenderal Tarto mengadvokasi pimpinan KPK yang dipidanakan oleh korps Bhayangkara tersebut.
Namun demikian, Chandra menilai kala itu ada dua kesalahan yang dilakukan oleh Mantan Komandan Paspamres tersebut. Kesalahan pertama adalah Jenderal Tarto tidak mengundang awak media untuk mempublikasikan dan membesarkan dirinya dalam perseturan Cicak-Buaya kala itu. Mantan Panglima TNI itu, lanjut Chandra hanya bekerja keras dan berusaha menyelesaikan tugas.
“Kesalahan kedua adalah Jenderal Tarto tidak pernah menuliskan peristiwa bersejarah itu dalam sebuah buku atau catatan. Padahal momentum tersebut begitu penting dan bersejarah,” tutupnya.
Sekedar kilas balik peristiwa, perselisihan antara KPK dengan Polri dipicu dari perjalanan kasus yang melibatkan dua pengusaha rekanan Departemen Kehutanan. Kasus pertama penyelahgunaan fungsi lahan untuk Pelabuhan Tanjung Api-Api , Musi, Banyuasin, Sumatera Selatan. Dan kasus kedua adalah korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radia Terpadu (SKRT) di Kemenhut yang melibatkan Direktur PT. Masaro, Anggoro Widjojo. Singkat cerita Chandra Hamzah mencekal Anggoro Widjojo. Namun demikian Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Susno Duadji menilai langkah pencekalan yang dilakukan Chandra dinilai tidak tepat, dan ia dinyatakan melakukan penyalahgunaan wewenang dan dituduh melakukan pemerasan.
Wal hasil, pada tanggal 29 Oktober, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto dijebloskan ke ruang tahanan (rutan) mako Brimob di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. (Marc/JKTS)