Ilustrasi @Alfin Rizal

Gus Taim dan Penjual Es Teh 

Cerpen
WA Wicaksono

Matahari pongah memamerkan teriknya yang menyengat. Namun seperti tak peduli panas yang menyengat, lapangan sepak bola yang biasanya jadi arena adu tendang para bocah itu kini berubah menjadi lautan manusia berbaju koko, berbalut gamis dan juga kerudung. Di atas panggung besar, dengan backdrop megah bertuliskan “Pengajian Akbar dan Sholawatan Bersama Gus Taim”, mikrofon sudah menyala, siap melantangkan petuah-petua relegius yang dianggap lebih mulia dari nasihat seorang ibu.

Di sudut lapangan, Sunji, lelaki kurus dengan celana cingkrang setengah betis, sedang sibuk mengelap termos besar dan gelas-gelas jinjing berisi es teh yang segar menggiurkan. Dengan menenteng sebuah papan bertuliskan: “Es Teh Sejuk, Harga Barokah Rp3.000, ia menata gelas-gelas es tehnya di atas nampan yang akan disungginya di atas kepala keliling area pengajian.

“Ji, daganganmu kayaknya bakal laku keras. Jamaah di sini haus semua, tuh!” ujar Parman, teman seperjuangan yang juga buka lapak gorengan di sebelahnya.

Sunji tersenyum kecil. “Rejeki Allah, Man. Semoga ustadznya juga beli, biar makin berkah,” ujarnya sembari mulai menyunggi jualanya untuk dijajakan.

Gus Taim akhirnya naik ke podium. Wajahnya tegas, suaranya lantang, dan kata-katanya mengalir seperti sungai yang tak pernah surut. Tapi, di tengah khotbahnya yang membahas keutamaan berbagi, seseorang dari barisan jamaah tiba-tiba berteriak.

“Gus, beli es tehnya Sunji dong! Bantu dagangan saudara kita!”

Suara itu disambut sorakan setuju. Beberapa jamaah mulai melambaikan uang ke arah Sunji, mendorong ustadz untuk melakukan aksi yang sesuai ceramahnya. “Borong! Borong! Borong!” teriak mereka riuh.

Mendengar teriakan riuh para jamaah akhirnya Gus Taim merespon juga. Seraya tertawa kecil, ia menatap langsung ke arah Sunji.

“Es tehmu masih banyak nggak?” tanyanya pada Sunji yang ada di tengah kerumunan jamaah.

“Masih banyak Gus,” jawab Sunji spontan, ia menatap Gus Taim dengan harapan dagangannya akan diborong sampai ludes.

“Lhaa kalo masih banyak, ya dijual tho, goblok!!!” teriak Gus Taim mengolok-olok.

Sontak ledakan tawa memenuhi lapangan. Para penceramah lain di panggung ikut terkikik, termasuk beberapa jamaah yang sedari tadai sudah merekam momen tersebut dengan ponsel mereka.

Sunji hanya diam. Wajahnya memerah, tapi bukan karena malu, melainkan karena menahan rasa yang bergemuruh di dada. Dia menunduk, mencoba fokus mengaduk es teh di dalam termos.

Beberapa jam kemudian, video olokan itu menyebar seperti angin membawa debu ke seluruh pelosok internet. Tagar #UstadzGoblok viral di Twitter. Komentar deras mengalir, sebagian besar membela Sunji.

“Ustadz kok nggak adab banget sih?”
“Sunji cuma cari rejeki halal, kok dihina?”
“Beli es teh aja nggak mampu, ngomongin surga? Wkwk.”
“Jualan es teh jauh lebih mulia daripada jualan agama.”

Semakin malam, simpati untuk Sunji semakin deras. Ada yang mengirimkan uang lewat rekeningnya, ada juga yang datang langsung menunjukkan simpatinya. Ada juga yang menawarkan renovasi lapaknya. Bahkan, ada seorang pengusaha yang mengumumkan akan membiayai Sunji pergi umroh.

“Rejeki es teh, Man,” ujar Sunji kepada Parman yang kini sibuk membantu menghitung uang sumbangan simpati yang masuk. “Ternyata omongan orang bisa jadi lebih manis daripada gula di tehku.”

Di sisi lain, Gus Taim hanya bisa terpaku menatap layar ponselnya. Sorotan netizen sudah berubah jadi tsunami yang menghantam reputasinya.

Dalam sebuah wawancara singkat dengan media, Gus Taim mencoba membela diri. “Itu cuma bercanda. Jamaah juga tertawa, kok.”

Namun, tanggapan itu hanya menambah api di hati para netizen.

Kini, Sunji bukan lagi sekadar penjual es teh di lapangan pengajian. Ia dikenal sebagai simbol kegigihan dan korban olokan yang berbalik jadi pahlawan. Di setiap undangan pengajian, es tehnya menjadi menu wajib.

Sementara itu, Ustadz Taim? Ia masih ceramah, tapi kursinya semakin kosong. Suaranya yang dulu lantang, kini terdengar seperti desahan angin di tengah badai netizen.

“Rejeki memang Allah yang atur,” gumam Sunji suatu sore, sambil menyeruput segelas es teh yang tak lagi hanya berharga Rp3.000,- []