Ilustrasi AI | WAW

Ok Gas Pak Menteri

Cerpen
WA Wicaksono
Pagi itu, Kabinet Pemerintahan BoGi menggelar rapat paripurna di istana. Tetiba udara di dalam ruang sidang terasa gerah, bukan karena AC rusak, melainkan oleh tumpukan proposal permintaan tambahan anggaran yang berserakan di meja panjang. Di sudut ruangan, seorang staf istana sibuk memunguti beberapa lembar dokumen yang jatuh.
“Awas, jangan sampai proposal saya rusak,” kata Pak Natagai, Menteri Hak Asasi Manusia, dengan nada antara setengah bercanda tapi serius. Ia duduk tegap, mengenakan jas yang potongannya lebih pas di tubuhnya daripada potongan anggaran negara yang ia minta.
“Anggaran ini untuk program revitalisasi semangat Hak Asasi Manusia yang sarat nasionalisme,” lanjutnya. “Bangsa ini butuh jiwa besar, dan jiwa besar butuh anggaran besar. Logis, kan? Saya akan bangun Universitas HAM terkeren didunia.”
Riza Mandra, Menteri Reformasi Hukum dan Etika, yang duduk di sebelahnya, tertawa kecil sambil mengangkat cangkir tehnya. “Tapi ingat Pak Natagai, semangat nasionalisme memang penting. Tapi tahukah Anda, hukum yang kuat lebih penting? Tanpa hukum yang tegas, siapa yang menjamin uang rakyat tak hilang di tengah jalan? Makanya, saya juga minta tambahan anggaran. Untuk apa? Modernisasi pengadilan. Sudah saatnya sidang tidak lagi pakai palu, tapi pakai touchscreen! Biar gak fommo, mengadaptasi kemajuan zaman,” kilahnya.
Angga Harto, Menteri Perekonomian dan Konglomerasi, mengangguk setuju. “Benar itu. Tapi ngomong-ngomong, kalau pengadilan modern, ekonomi juga harus ikut modern dong. Saya minta tambahan anggaran untuk ekonomic hub di setiap kota. Bayangkan, setiap kecamatan punya rumah usaha sendiri. Kita tak hanya melahirkan generasi produktif, tapi juga mengurangi angka pengangguran.”
“Kalau begitu, tambahkan juga anggaran saya dong,” sela Zulkisan, Menteri Ketahanan Pangan. “Bukan hanya kreatif, rakyat juga harus kenyang. Saya mau bangun pabrik beras organik di semua provinsi. Dengan teknologi canggih dari China. Sekali tanam seumur hidup, hemat pupuk, hemat air,” ujarnya tak mau kalah.
Di tengah perdebatan itu, Presiden Bobowi, yang sedari tadi diam, menghela napas panjang. Ia menatap HuhuHaha, Wakil Presidennya, yang sibuk menggulirkan layar ponsel. “Mas HuhuHaha,” panggil Bobowi, “Kamu punya pendapat?”
HuhuHaha mendongak perlahan. “Tidak ada Pak Presiden, saya hanya berpikir… kondisi ini kok mirip orang rebutan tusuk sate di pesta pernikahan ya.”
Semua menteri terdiam. HuhuHaha melanjutkan, “Maksud saya, kita semua ingin mengambil banyak tanpa sadar kalau tusuk satenya itu terbatas. Kita lupa kalau tusuk sate itu punya orang lain, dalam hal ini, rakyat hehehe…”
Ruangan mendadak hening. Tapi tak lama, Menteri Natagai tertawa keras. “HuhuHaha, kau ini lucu sekali. Sate apa pula yang kau maksud?”
“Ya, sate utang negara, Pak,” balas HuhuHaha polos.
Tawa Natagai terhenti. Suasana kembali sunyi, kecuali suara gelas teh Riza Mandra yang diletakkan dengan sangat hati-hati di meja.
—————————————-
Sementara itu, di sebuah gang sempit di Jakarta, Ibu Sari, seorang pedagang nasi uduk, duduk termenung di depan warungnya yang sepi pembeli. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai yang biasa disebut PPN telah membuat harga bahan baku jualannya melonjak. “Sekarang beli santan saja mikir dua kali,” keluhnya pada tetangga sebelah.
“Padahal, anak-anak di sekolah masih makan nasi pakai tempe,” sahut si tetangga.
Di sisi lain kota, sebuah hotel mewah menggelar pesta tertutup untuk “evaluasi kinerja.” Para pejabat kementerian hadir dalam jas mahal, berdiri di samping meja prasmanan yang penuh hidangan kelas dunia.
“Lihat ini,” kata seorang direktur jenderal sambil memotret steak wagyu di piringnya. “Hasil kerja keras kita semua. Salut untuk anggaran baru!”
Tawa mereka pecah, sementara di layar TV di sudut ruangan, berita tentang anak-anak gizi buruk di Provinsi Pinggiran diputar tanpa suara.
——————————-
Kembali ke ruang sidang kabinet, Presiden Bobowi mengetuk meja dengan ujung jarinya. “Saudara-saudara,” katanya akhirnya, “Saya bukan pengemudi yang suka tarik gas tanpa rem. Kita ini sedang dalam jalan terjal. Kalau kita terus begini, sepertinya rakyat akan terlempar keluar dari kendaraan yang kita kendarai.”
Menteri Napi mengangkat tangan. “Tapi, Pak, kalau tidak gas, kita tidak maju. Kan dikampanye pemilihan presiden kemarin slogan yang bapak gembar-gemborkan selalu Ok gas! Ok gas pak.”
“Betul,” jawab Bobowi tenang. “Tapi gas yang terlalu kencang hanya membuat kita kehilangan kontrol tho?”
Huhuhaha menambahkan, “Dan jangan lupa, Pak Natagai, bensinnya dari rakyat. Kalau tangki habis, kita semua terpaksa berhenti lho.”
Lagi-lagi semua diam.
Di luar ruang sidang, staf istana kembali memunguti lembaran proposal yang jatuh. Kali ini, mereka memastikan untuk menyimpannya dengan rapi. Bukan untuk dibaca, melainkan untuk disimpan sebagai arsip—dokumentasi sejarah ironi pemerintahan yang gemar tarik gas, lupa rem. []