Ilustrasi ai | WAW

Sebelas Duabelas Disajikan Tanpa Logika

Cerpen
Wahyu Ari Wicaksono
Lagi-lagi ini sebuah cerita komedi dari sebuah negeri khayalan yang disebut Wakanda. Di tengah masyarakat yang hidup dalam beragam keunikan, setiap keputusan pemerintah, sekecil apapun, selalu mengundang perdebatan besar. Saat itu, di antara masyarakat yang selalu hiruk-pikuk karena keputusan pemerintahnya yang selalu ajaib, ada seorang pedagang keliling bernama Pak Suling mendadak menjadi sorotan tak terduga.
Sosok Pak Suling adalah seorang pria paruh baya dengan kumis tebal seperti bulu landak dan senyum yang selalu tergantung di wajahnya. Dia adalah penjual kecap. Namun bukan sembarang kecap tentunya, melainkan “Kecap Peduli Rakyat” yang diklaimnya sebagai kecap terbaik di negeri Wakanda.
“Ini bukan kecap biasa lho. Ini adalah kecap yang bisa mengubah mie instan jadi makanan bintang lima!” ujar Pak Suling dengan gaya bak presenter televisi digital.
Suatu hari, saat Pak Suling sedang menggelar dagangannya, di Teve Umum yang ada di tengah pasar Wakanda, terdengar berita mengagetkan, Pemerintah mengumumkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik dari 11% menjadi 12%. Sontak para penjual dan pembeli seantero pasar langsung riuh.
“Pak Suling, kecapmu nanti jadi lebih mahal dong?” tanya Bu Irin, pelanggan setianya yang terkenal suka meminjam mangkuk di warung tetangga.
“Ah, Bu Irin, tenang saja,” jawab Pak Suling kalem sambil mengusap kumisnya. “Saya ini pedagang kecil. PPN naik satu persen? Ah… Itu kan cuma secuil. Barang dagangan saya pastinya akan tetap terjangkau kok bu!”
Namun, diam-diam, ternyata Pak Suling mulai merasa khawatir. Malam itu, dia mencoba menghitung lagi angka-angka di buku catatannya. Alamak, sebuah fakta menyentak. Kenaikan 1% itu ternyata sama dengan meningkatkan beban pajaknya hingga 9%! “Astaga! Kalau begini ini ternyata bukan secuil. Ini sih seperti kehilangan semangkuk!”batin Pak Suling gusar.
Sementara itu di tempat lain, pejabat tinggi Wakanda yang biasa dipanggil Tuan Pajakian sedang memberikan pidato megah di depan layar kaca. “Rakyat Wakanda yang saya cintai, kenaikan PPN ini adalah demi pembangunan kita bersama. Jangan takut, hanya produk mewah yang kena dampaknya. Kecap Pak Suling tidak termasuk kok!”
Namun, esoknya di pasar, poster besar bertuliskan “PPN BARU = Harga Baru” terpampang di depan toko grosir. Harga kecap Pak Suling ikut naik. Pelanggan pun datang dengan berbagai keluhannya.
“Pak Suling, katanya harga tetap?”
“Ini bukan salah saya, Bu,” jawab Pak Suling dengan nada lirih. “Tapi sistem… sistem ini seperti mie instan yang direbus tanpa bumbu. Hambar!”
Tak tahan oleh keluhan orang-orang, Pak Suling memutuskan untuk mengunjungi Balai Pajak. Di sana, dia bertemu dengan seorang petugas pajak bernama Mas Angka, yang selalu berbicara dalam istilah teknis. Kontan, dialog mereka menjadi tontonan masyarakat layaknya komedi spontan.
“Pak Suling, kenaikan ini sebenarnya demi Anda juga khususnya dan semua masyarakat umumnya. Infrastruktur membaik, jalan lancar, jadinya kecap Anda sampai lebih cepat ke pasar kan!”
“Tapi, Mas Angka, pelanggan saya tidak peduli jalan. Mereka peduli kecap!” balas Pak Suling sambil mengangkat botol kecapnya layaknya seorang orator aksi demonstrasi.
Mas Angka menghela napas. “Begini, Pak. Ini hanya satu persen. Tidak signifikan tho?”
“Tidak signifikan gimana Mas?” seru Pak Suling. “Coba, kalau gaji Mas dipotong 1%, apa Mas tidak mengeluh?”
Perdebatan sengit tersebut membuat Pak Suling diundang ke sebuah acara talkshow sebuah stasiun televisi. Di sana, dia berhadapan langsung dengan pengambil keputusan tertinggi lembaga pajak, Tuan Pajakian. Dialog mereka menjadi sorotan nasional.
“Tuan Pajakian,” kata Pak Suling, “Anda bilang kenaikan PPN 12% ini hanya untuk barang mewah. Tapi kenapa kecap saya yang rakyat biasa pembelinya, ikut kena dampak? Apakah kecap sekarang dianggap barang mewah?”
Tuan Pajakian tertawa kecil. “Pak Suling, rakyat Wakanda ini harus belajar menerima perubahan demi kemajuan.”
Pak Suling tersenyum licik. “Kalau begitu, kenapa gaji Anda dan rekan-rekan tidak dipotong juga untuk kemajuan? Banyak kementerian justru meminta kenaikan anggaran. Termasuk kementerian Anda. Bukankah kita harus belajar menerima perubahan?”
Penonton meledak dalam tawa dan tepuk tangan. Wajah Tuan Pajakian memerah seperti sambal pedas.
Malam itu, sebuah surat kabar lokal menulis: “PPN 12%: Rakyat Biasa Kena, Rakyat Luar Biasa Bicara!” Dan Pak Suling, sang pedagang kecap yang awalnya hanya ingin bertahan hidup, menjadi simbol perlawanan humoris terhadap kebijakan yang, menurutnya, “Direbus Tanpa Rasa, Disajikan Tanpa Logika.”[]