Koruptor Santun
Cerpen
Wahyu Ari Wicaksono
Di salah satu sudut negeri Wakanda yang konon kaya raya, pagi itu di sebuah ruang sidang megah, Moeis berdiri. Mengenakan kemeja putih yang rapi, wajahnya berseri. Moeis bukan orang sembarangan, ia adalah seorang mantan pengusaha terkait tambang timah yang kini sedang harus berhadapan dengan meja hijau. Tuduhannya sudah umum, yaitu kasus korupsi. Ia didakwa melakukan korupsi hingga merugikan negara kurang lebih sebesar 300 triliun. Jumlah yang, jika diurai, bisa membangun seribu jembatan, lima ribu rumah sakit, atau setidaknya memperbaiki nasib rakyat yang dicekik harga-harga tinggi.
“Yang Mulia,” suara Jaksa terdengar. “Kami menuntut hukuman 12 tahun penjara, denda satu miliar rupiah, serta uang pengganti sebesar 210 miliar rupiah.”
Ruang sidang hening sejenak. Beberapa wartawan saling melirik, sebagian menahan tawa. Bukankah angka itu, bagi kasus sebesar ini, ibarat menebang pohon beringin dengan gunting kuku.
Hakim, seorang pria paruh baya dengan kumis tebal dan senyum penuh misteri, mengetukkan palu. “Baik, kita lanjutkan dengan pembelaan terdakwa.”
Moeis mengangguk santun. Ia berbicara dengan intonasi yang berwibawa namun bersahaja, bak dosen filsafat yang mengajar mahasiswa baru atau rakyat yang polos dan ikhlas menjalani hidup yang bersahaja.
“Yang Mulia,” katanya, “saya ini orang biasa. Saya hanya menjalankan takdir sebagai pengusaha untuk menghidupi keluarga saya, anak dan istri saya. Jika memang ada kekhilafan, itu karena saya manusia biasa. Lagipula, hasil dari usaha komoditas tambang timah itu tidak sepenuhnya saya nikmati sendiri. Ada keluarga, pegawai, dan masyarakat yang turut merasakannya dalam bentuk program-program CSR.”
Penonton di ruang sidang tertawa dalam hati. Masyarakat? Pegawai? Apa maksudnya uang hasil korupsi dibagi rata? Terus program CSR seperti apa yang dijalankan? Paling-paling cuma kedok, nama program mentereng, dananya ditelikung entah kemana?
Hakim mengangguk-angguk seolah-olah mendengar filsafat tingkat tinggi. “Saudara Moeis, sepanjang persidangan Anda sangat santun. Sikap ini patut diapresiasi. Silakan lanjutkan pembelaan Anda.”
Moeis melanjutkan dengan kisah hidupnya. Ia bercerita tentang anaknya yang masih balita dan butuh kasih sayang seorang ayah, istrinya yang harus bekerja keras mencari nafkah sebagai artis untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan pengasuh-pengasuh mereka yang hidup dari belas kasihnya. Sebuah kisah yang dikemas seperti drama sedih, namun kerap mengundang gelak tawa karena orang-orang tidak percaya.
Ketika saatnya tiba untuk vonis, Hakim mengetukkan palu lagi, kali ini dengan gaya teatrikal aktor handal. “Setelah mempertimbangkan kesantunan terdakwa dan adanya tanggungan keluarga, kami memutuskan hukuman enam tahun enam bulan penjara, denda satu miliar, serta uang pengganti sebesar 210 miliar.”
Sontak seisi ruang sidang senyap. Orang-orang terdiam sejenak karena kaget sebelum akhirnya gaduh dalam kasak-kusuk bisikan ketidakpercayaan. Sementara itu Moeis, Pengacara Pembela, serta istrinya yang cantik jelita, tertawa ceria dan saling berpelukan melepas kegembiraan atas vonis yang diterima.
“Kesantunan bisa menghapus hukuman ya?” bisik seorang wartawan kepada rekannya yang masih ternganga.
“Kalau begitu, kita semua harus belajar jadi santun di depan hakim ya. Biar kalau terjerat kasus hukum, bisa divonis hukuman seringan-ringannya,” jawab rekannya, setengah serius.
—————
