Ilustrasi ai | WAW

Anak-anakku, Papa Bukan Koruptor

Cerpen
Wahyu Ari Wicaksono
Ruang sidang kasus korupsi ini penuh sesak, namun para hakim, jaksa, pengacara pembela, saksi, dan pengunjung yang hadir berusaha senyap dan menahan diri. Mereka semua nampak serius menyaksikan sang terdakwa koruptor Moemoe, sang santun dan selalu rapi tersebut membacakan pledoi atau nota pembelaannya dengan intonasi yang dramatis dan membuat bulu kuduk meremang.
“Aku ingin kau membaca surat ini dengan hati yang lapang, Fafa. Jika kau ingin menangis, menangislah. Jika kau ingin tertawa, tertawalah. Aku tidak bisa memastikan isi surat ini akan membuatmu sedih atau malah menggelitik. Satu hal yang pasti: ini adalah warisan terakhir Papa. Tentu saja diluar rumah mewah, mobil sport, pesawat jet pribadi dan tabungan jutaan dolar di rekening luar negeri kita.
Fafa, anakku, Papa tahu sekarang kau duduk di bangku sekolah menengah atas. Kau mungkin sedang sibuk menghapal rumus fisika atau membuat esai tentang “Integritas sebagai Pilar Bangsa”. Oh, ironis sekali, bukan? Integritas. Kata yang begitu mulia, tetapi di meja-meja sidang sini lebih sering digunakan sebagai bahan lelucon.
Hari ini di ruang sidang, Papa berdiri dengan kepala tegak, membacakan pembelaan. “Papa bukan koruptor,” kataku di depan hakim, jaksa, dan puluhan kamera televisi. Kau tahu, Fafa, setiap kali Papa berkata begitu, suara Papa bergetar. Bukan karena gugup. Oh, tidak. Papa terbiasa berbicara di depan orang banyak, bahkan saat mereka tahu Papa menipu. Suara Papa bergetar karena marah. Marah pada sistem yang memaksa kita menjadi seperti ini.
Dulu, ketika Papa pertama kali masuk ke dunia bisnis, Papa juga berpikir seperti kau. Bahwa uang harus dicari dengan keringat, bahwa hukum harus dihormati, bahwa orang jujur akan selalu menang. Lalu realitas menampar keras wajah Papa. Realitas berkata, “Kalau kau tidak main licik, kau tidak akan bertahan.” Kau tahu, Fafa, seperti dalam permainan catur. Kau bisa bermain jujur, tetapi kalau lawanmu curang, apa kau masih bisa menang?
Papa tidak mencuri uang negara, Fafa. Papa hanya “mengelola” uang itu lebih baik daripada mereka yang sebelumnya. Tentu saja, mereka menyebutnya korupsi. Tetapi, siapa yang sebenarnya rugi? Uang itu tidak hilang. Hanya berpindah tangan. Ke tangan Papa, ke rekening keluarga kita, ke mobil yang kau gunakan untuk pergi sekolah, ke rumah kita yang penuh kenyamanan.
Namun, di balik semua itu, Papa juga manusia, Fafa. Di ruang sidang, Papa menangis. Tangisan itu bukan karena merasa bersalah. Tidak, Papa tidak merasa bersalah. Tangisan itu untukmu dan adikmu, Sungsang. Kau kehilangan waktu dengan Papa. Kau kehilangan figur yang seharusnya menjadi panutan. Tetapi, Fafa, siapa yang benar-benar suci di dunia ini? Bahkan mereka yang menghukum Papa hari ini, adakah yang benar-benar bersih?
Papa ingat malam-malam kita bermain monopoli di ruang tamu. Kau selalu protes ketika Papa membeli semua properti mahal, membuatmu bangkrut lebih cepat. Kau berkata, “Papa curang!” dan Papa hanya tertawa. Sekarang Papa tahu, mungkin tawa itu adalah pertanda. Dunia ini seperti permainan monopoli. Kau harus memiliki properti, kau harus memiliki kekuasaan. Kalau tidak, kau hanya jadi pion kecil yang selalu diombang-ambingkan dadu keberuntungan.
Fafa, Papa tidak ingin kau menjadi seperti Papa. Tetapi Papa juga tidak ingin kau menjadi terlalu polos. Dunia ini tidak akan menghargai kejujuranmu. Kau harus cerdik, harus pintar membaca peluang. Jangan sampai kau jadi korban. Kalau kau harus memanipulasi sistem, lakukanlah. Tetapi ingat, jangan sampai kau tertangkap. Karena jika tertangkap, mereka akan membuatmu seperti Papa: kambing hitam dari semua dosa yang dilakukan bersama-sama.
Surat ini akan sampai padamu nanti, mungkin setelah kau dewasa. Mungkin saat itu kau sudah lupa wajah Papa. Atau mungkin kau membencinya. Tetapi satu hal yang Papa minta: jangan terlalu keras pada Papa. Papa hanya produk dari sistem yang rusak.
Dengan cinta dan ironi, Papa “
—————————
Di waktu yang sama, pada sebuah warung kopi kecil di pinggir pasar, beberapa orang duduk berkumpul. Di atas meja reyot, ada cangkir-cangkir kopi yang mulai dingin, menunggu giliran untuk diminum. Televisi tabung di pojok ruangan menampilkan siaran langsung persidangan kasus korupsi Moemoe, hanya saja di warung ini, mereka menyebutnya dengan nada setengah bercanda, setengah muak “Si Malaikat.”
“Lihat itu, Si Malaikat nangis lagi,” ujar Pak Darto, seorang pedagang sayur yang kulitnya terbakar matahari, sambil menunjuk layar televisi. “Katanya, dia bukan koruptor. Katanya lagi, dia cuma ‘mengelola uang’ lebih baik.” Suaranya bercampur antara tawa getir dan ketidakpercayaan.
“Ah, drama,” sahut Bu Siti, penjual gorengan, sambil mengipasi tempe goreng yang baru diangkat. “Kalau saya yang curi lima ribu saja dari kas pasar, pasti langsung digelandang. Tapi dia? Ngambil triliunan rupiah, masih bisa duduk manis sambil bacain surat cinta buat anak-anaknya.”
“Kau dengar itu tadi?” Pak Amin, tukang becak, menyela. “Dia bilang dia bukan pejabat, jadi nggak mungkin korupsi. Katanya dia cuma pengusaha yang ‘dipaksa’ main kotor biar bisnisnya jalan. Aduh, kalau saya punya logika kayak gitu, mungkin becak saya udah berubah jadi mobil sekarang.”
Mereka semua tertawa. Tawa pahit, bukan karena lelucon itu lucu, tetapi karena kenyataan yang begitu absurd. Televisi masih terus menampilkan sosok Harvey yang berurai air mata. Dia berbicara kepada anak-anaknya, Fafa dan Sungsang, dengan suara bergetar. “Papa bukan koruptor,” katanya. “Papa hanya korban dari sistem yang rusak.”
“Sistem rusak?” ulang Bu Siti dengan nada sarkastis. “Yang rusak itu hati mereka, bukan sistem. Kalau memang sistemnya rusak, kenapa cuma mereka yang selalu untung? Kenapa cuma mereka yang bisa beli rumah mewah, mobil mahal, sementara kita yang kerja mati-matian cuma cukup buat bayar listrik?”
Pak Darto mengangguk. “Betul. Tapi kau lihat caranya dia bicara? Seolah-olah dia itu pahlawan. Yang nyedihkan, mungkin anak-anaknya benar-benar percaya. Mungkin mereka tumbuh besar dengan pikiran kalau curang itu biasa, asal kau nggak ketahuan.”
“Dan kalau ketahuan?” Pak Amin menimpali. “Mereka akan bilang mereka korban. Playing victim, istilah kerennya. Aku cuma berharap mereka tahu, korban yang sebenarnya itu kita. Anak-anak kita yang harusnya dapat sekolah layak. Ibu-ibu kita yang mati karena nggak bisa bayar rumah sakit. Itu korban sebenarnya.”
Semua terdiam sejenak, merenungi kata-kata Pak Amin. Di layar, Moemoe Si Malaaikat masih terus berbicara, kali ini lebih emosional. Dia berbicara tentang malam-malam bermain monopoli dengan anak-anaknya, tentang bagaimana dia mengajarkan strategi dan keberanian mengambil risiko. “Papa hanya ingin kalian tahu,” katanya, “bahwa dunia ini seperti permainan. Kalau kau nggak pintar, kau akan jadi pion yang diinjak.”
“Permainan, katanya,” gumam Bu Siti sambil menggeleng. “Kalau dunia ini permainan, dia pasti pemain curang. Dan kita ini apa? Penonton yang cuma bisa teriak dari luar lapangan?”
Pak Darto menyalakan rokoknya, menarik napas panjang sebelum berkata, “Dia lupa satu hal. Dalam permainan, pion yang diinjak itu tetap ada gunanya. Tapi kalau semua pion hilang, apa yang tersisa? Tidak ada. Bahkan permainan itu sendiri akan berhenti.”
Semua orang kembali terdiam. Televisi mematikan siaran langsungnya, berganti iklan sabun cuci. Tetapi bayangan Moemoe, dengan air mata buaya dan kata-kata manisnya, masih menggantung di udara, seperti asap rokok yang enggan hilang.
Mereka tahu, mereka tidak bisa menghentikan permainan ini. Tetapi setidaknya, mereka bisa tetap bicara. Karena di tengah suara-suara besar yang mencoba membenarkan kebohongan, suara kecil dari warung kopi ini adalah bentuk perlawanan yang sederhana, namun tulus. []