EDITORIAL JAKARTASATU.COM: Impor Itu Politik Perut yang Gagal
“Bukti mendatangkan beras dari luar negeri itu saja adalah suatu penghinaan bagi bangsa kita yang menduduki Tanah Air yang begitu luas dan subur.”
Bung Hatta, dalam kutipan yang diambil dari buku “Koperasi Membangun dan Membangun Koperasi” yang menekankan pentingnya kemandirian pangan dan kesejahteraan petani.
Di negeri yang menjanjikan kesuburan tanah dan kekayaan alam, kita justru menyaksikan satu ironi besar: perut rakyat bergantung pada kapal-kapal asing yang membawa beras, gula, daging, hingga garam dari luar negeri.
Kata “impor” tak lagi identik dengan darurat pangan, tapi telah menjadi kebiasaan sistemik. Bahkan menjadi “industri kuota” yang disusupi kepentingan dan permainan elite. Kita tidak sedang membicarakan kekurangan.
Kita sedang bicara kegagalan kebijakan. Kegagalan yang terstruktur, sistematis, dan berlangsung dari rezim ke rezim. Pemerintah berkali-kali menyebut bahwa impor dilakukan demi “stabilisasi harga.”
Tapi siapa yang benar-benar diuntungkan?
Konsumen kelas menengah di kota? Importir besar yang dapat kuota?
Atau elite yang bermain di balik kebijakan?
Yang pasti bukan petani. Petani Tak Dihargai, Kuota Diberi Setiap musim panen, petani dihantui harga jatuh.
Sementara di waktu yang sama, negara malah membuka keran impor besar-besaran.
Ini bukan ketidaksengajaan. Ini adalah pilihan politik. Politik yang tidak berpihak pada petani, tetapi tunduk pada kalkulasi pasar dan lobi bisnis pangan.
Kuota impor tak pernah benar-benar transparan. Siapa yang mendapatkannya?
Bagaimana kriterianya? Kenapa selalu datang saat panen lokal berlangsung? Tak ada kejelasan.
Yang ada hanyalah justifikasi bahwa negara perlu menjaga “stok nasional.” Padahal, stok itu bisa disiapkan dari hasil bumi sendiri—asal negara mau membangun sistem distribusi dan logistik yang adil.
Tapi sayangnya, impor lebih mudah daripada memberdayakan. Impor adalah Ketergantungan yang Memalukan Ketika negara terlalu mengandalkan impor untuk memberi makan warganya, itu berarti negara telah gagal dalam tugas dasarnya: menjamin kedaulatan pangan.
Negeri yang tidak mampu mengurus perut rakyatnya adalah negeri yang sedang menuju keruntuhan moral dan ekonomi. Lebih menyakitkan lagi, ini semua terjadi di tengah jargon “Indonesia Emas” dan “Kedaulatan Pangan.” Slogan tidak memberi makan. Yang dibutuhkan rakyat adalah kebijakan nyata.
Saatnya Berhenti Bergantung impor meyakini bahwa kemandirian pangan bukan sekadar soal produksi, tetapi soal politik keberpihakan.
Negara harus berpihak pada petani. Harus berpihak pada tanahnya sendiri. Harus berani menghentikan praktik kuota impor yang tidak adil dan penuh permainan.
Impor bukan prestasi. Malah masuk bui, kasus nayata pada Tom Lembong. Mantan Menteri Perdagangan yang bernama Thomas Trikasih Lembong itu sinyal bahwa kita sedang tidak mampu berdiri di atas kaki sendiri. Dan ketergantungan semacam ini hanya akan melahirkan ketidakadilan yang makin absurd. Dalam dakwaan jaksa, Tom Lembong disebut merugikan keuangan negara Rp 578.105.411.622,47 di kasus importasi gula di Kemendag pada 2015-2016.
Pada 6 Mar 2025 — Menurut jaksa, penerbitan 21 persetujuan impor itu diterbitkan Tom Lembong tanpa disertai rekomendasi Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Fakta lainnya Kasus Thom Lembong · 1. Tabrak Aturan · 2. Izin Impor Buat Swasta · 3. Tidak Kordinasi dengan Kementerian Terkait · 4. Harga Gula di Atas HET.
Jika hal ini terus impor nampaknya negara seperti sedang pembiaran ini. Dalih stabilitas yang menindas rakyat kecil.
Dan kami menyerukan: Bangun kedaulatan dari perut! Dan juga kami setuju Hatta jika
“Bukti mendatangkan beras dari luar negeri itu saja adalah suatu penghinaan bagi bangsa kita yang menduduki Tanah Air yang begitu luas dan subur.” Kapan mau mandiri? Karena Hatta jelas menekankan pentingnya kemandirian pangan dan kesejahteraan petani. Tabik…! (ed-jaksat)***