JAKARTASATU – Sidomukti, Labuhanbatu Utara, Rencana penggusuran oleh PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART), anak usaha Sinar Mas Group, mulai dijalankan. Keputusan ini disahkan melalui surat dari Pengadilan Negeri Rantau Prapat kepada Kapolres Labuan Batu, sebuah langkah yang kini menimbulkan keresahan mendalam di antara ratusan keluarga warga Kampung Baru dan sekitarnya.
Misno, salah satu warga yang telah mengakar selama 62 tahun di Kampung Baru, Sidomukti, mengungkapkan sejarah panjang perjuangan mempertahankan hak atas tanah. “Orangtua kami, yang pada 1958 pernah mendapatkan KTPPT—bukti kepemilikan lahan hingga 2 hektare—adalah bagian dari proses transmigrasi di masa penjajahan. Namun, sejak orde baru, sejarah menjadi kelam. Pada 1965, tentara menyerbu desa kami, dan pada 1968, perusahaan asing mencoba menggusur keluarga petani melalui manipulasi dokumen kepemilikan,” ungkap Misno dengan nada getir.

Penggusuran pertama kali terjadi setelah perusahaan Belanda yang kemudian diambil alih oleh PT SMART pada 1972. Sejak saat itu, lahan pertanian seluas 3000 hektar yang selama ini menjadi sandaran hidup lebih dari 300 keluarga petani perlahan terkikis, menyisakan perlawanan yang tak henti-hentinya.
Hingga kini, perjuangan warga tidak hanya sekadar simbolik. “Sejak 2012, kami hanya berhasil mempertahankan 83,5 hektar dari total kekayaan lahan sebesar 137.000 hektar yang dimiliki PT SMART. Di atas tanah itu, kami menanami palawija—pangan pokok yang selama ini menopang kehidupan kami dan warga desa lain,” tutur Misno dengan tegas.
Pertanyaan pun mencuat, “Bukan kah pemerintahan Presiden Prabowo mengusung visi swasembada pangan?” Sebuah retorika yang menyoroti kontradiksi antara kebijakan nasional dengan praktik-praktik penggusuran yang merampas hak rakyat.

Implikasi Sosial dan Budaya
Penggusuran yang mulai dilaksanakan bukan semata-mata persoalan lahan. Bagi warga Kampung Baru, lahan itu adalah bagian dari identitas dan sejarah. Generasi demi generasi telah menyematkan nilai-nilai perjuangan dalam setiap inci tanah yang mereka pijak. Kini, dengan ancaman penggusuran, mereka kembali dihadapkan pada bayang-bayang masa lalu yang penuh penderitaan dan ketidakadilan.
Kelompok tani dan warga, yang tergabung dalam kelompok “Padang Halaban-Sekitarnya”, menegaskan bahwa mereka hanya memperjuangkan hak yang sah dan warisan leluhur. “Kami bukan menuntut berlebihan, hanya 83 hektar yang menjadi sumber penghidupan dan bukti sejarah perjuangan kami,” tambah salah satu juru bicara kelompok tersebut.
Keputusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat yang memberikan lampu hijau penggusuran juga menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Sementara aparat penegak hukum berargumen bahwa langkah tersebut sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, warga dan kelompok tani menilai bahwa proses hukum justru digunakan untuk menutup-nutupi ketidakadilan struktural yang telah berlangsung puluhan tahun.

Harapan dan Titik Balik
Di tengah kekhawatiran yang melanda, muncul harapan agar isu penggusuran ini bisa membuka dialog nasional mengenai hak atas tanah dan keadilan agraria. Banyak pihak mendesak agar pemerintah segera turun tangan untuk menyelesaikan konflik ini secara adil, selaras dengan visi Indonesia swasembada pangan dan penghormatan terhadap sejarah perjuangan rakyat.
Dengan penggusuran yang dijadwalkan segera berlangsung, warga Kampung Baru dan sekitarnya kini memasuki babak baru dalam perjuangan panjang mereka untuk mendapatkan kembali hak atas tanah yang telah menjadi saksi bisu perjalanan sejarah bangsa.|WAW-JAKSAT